Pada artikel ini Primaya Hospital merangkum beberapa mitos dan fakta menarik seputar Inseminasi buatan yang beredar di Masyarakat.
Fakta Menarik tentang Inseminasi Buatan
1. Teknik inseminasi buatan dapat menghasilkan kehamilan anak kembar
Kehamilan kembar dapat terjadi karena adanya dua sel telur yang berbeda yang dibuahi oleh dua sel sperma yang terpisah. Pada inseminasi, biasanya penggunaan dua sel telur bertujuan agar kemungkinan peluang kehamilan untuk berhasil dapat lebih besar dibanding hanya menggunakan satu sel telur.
2. Stimulasi ovarium dengan hormon
Setelah melalui masa pemeriksaan kondisi kesehatan, dokter akan memberikan obat yang membantu kesuburan sambil memeriksa kondisi pasien wanita secara rutin melalui ultrasound (USG) dan tes darah. Obat yang diberikan bertujuan untuk membantu pelepasan hormon yang dapat merangsang tubuh untuk melepaskan hormon yang dapat merangsang folikel ovarium wanita untuk mendorong pelepasan sel telur, serta mendorong sel telur untuk matang. Selain itu, stimulasi ovarium ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah telur yang diproduksi ovarium. Semakin banyak telur yang bisa diambil dan dibuahi selama prosedur, semakin besar pula kesempatan untuk hamil.
3. Menunda berhubungan seksual sebelum prosedur inseminasi buatan
Sebelum prosedur inseminasi dilakukan, biasanya dokter akan menyarankan pasangan untuk tidak berhubungan seksual dan tidak mengeluarkan sperma minimal 3 hari sebelum prosedur. Hal tersebut bertujuan agar jumlah dan kualitas sperma yang akan dikeluarkan saat prosedur nanti dalam kondisi baik (kuantitas cukup dan kualitas sperma baik).
Keberhasilan dan Kegagalan Inseminasi Buatan
Keberhasilan kehamilan dengan teknik inseminasi buatan bervariasi tergantung kepada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilannya seperti yang sudah disebutkan di atas. Prosedur inseminasi buatan ini mungkin tidak berhasil untuk semua orang. Beberapa pasangan dapat mencoba beberapa kali sebelum akhirnya dapat mencapai kehamilan, sementara yang lain mungkin tidak berhasil sama sekali. Biasanya, dokter akan menyarankan pasangan untuk mencoba inseminasi buatan setidaknya tiga kali sebelum beralih ke cara lain. Namun, jika inseminasi buatan tidak membantu, ada cara lain yang dapat dicoba sehingga bisa hamil, contohnya adalah teknik In Vitro Fertilization (bayi tabung).
5 Mitos Terkait Inseminasi Buatan
1. Anak hasil inseminasi buatan / bayi tabung rentan sakit
Anak hasil inseminasi buatan / bayi tabung rentan sakit adalah mitos. Kenyataannya, anak hasil inseminasi buatan / bayi tabung tidak berbeda dengan anak dari proses alami. Terdapat sebuah studi penelitian dilakukan terhadap 1.500 bayi hasil bayi tabung, inseminasi, dan alami. Perkembangan mereka terus dipantau. Hasilnya, tumbuh kembang, kecacatan, dan kelainan kongenital tidak ada yang berbeda. semua sama. Jadi tidak perlu khawatir soal mitos ini.
2. Kehamilan dari proses inseminasi buatan / bayi tabung rentan mengalami komplikasi
Risiko komplikasi kehamilan lebih berkaitan dengan kondisi ibu sebelum hamil. Banyak ibu yang datang untuk program inseminasi buatan/bayi tabung karena mereka memiliki masalah medis tertentu, atau usia pasien yang sudah cukup tua untuk hamil. Nah, kondisi itu yang kemudian memicu risiko terjadinya komplikasi kehamilan.
3. Ibu yang menjalani program inseminasi harus bedrest total
Banyak ibu yang berpikir bahwa dirinya harus istirahat total setelah prosedur agar embrio bisa berkembang dengan baik. Ibu yang kebanyakan bedrest justru malah dapat mencetus stress dan berpengaruh pada keberhasilan kehamilan. Sebaiknya tetap melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa, namun perlu diingat untuk menghindari aktivitas yang berat/melelahkan.
4. Infertilitas hanyalah masalah perempuan
Sangat penting diketahui pasangan bahwa ketidaksuburan adalah masalah laki-laki dan perempuan. Kemungkinannya sama besar. Faktanya, 30 persen masalah ketidaksuburan disebabkan oleh pria dengan kuantitas dan kualitas sperma yang kurang baik. Perempuan juga menyumbang 30 persen masalah infertilitas yaitu masalah hormon, masalah ovulasi, dan masalah medis lainnya. Sisanya, 40 persen kasus infertilitas disebabkan oleh gabungan kemungkinan masalah yang dialami laki-laki dan perempuan.
5. Jika sedang inseminasi buatan maka tidak perlu berhubungan seksual lagi
Sebelum prosedur inseminasi memang disarankan sebaiknya tidak berhubungan seksual/mengeluarkan sperma minimal 3 hari sebelum prosedur agar kondisi sperma yang akan digunakan dalam prosedur nanti kuantitas dan kualitasnya baik. Namun umumnya setelah melakukan prosedur inseminasi, pasien boleh melakukan hubungan seksual kurang lebih 6 hari setelah prosedur inseminasi. Namun, sebaiknya tetap dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dokter yang akan menilai keadaan/kondisi pasien wanita.
Narasumber
dr. Cepi Teguh Pramayadi, Sp.OG(K-FER), MARS
Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan
Referensi
- Anwar, INC., Jamaan T. Manual Inseminasi Intra Uterus. Puspa Swara. Jakarta. 2002; 3-4, 31-51
- Nuojua, HS. Intrauterine Insemination Treatment in Subfertility. Academic Disertation. Department Obstetrics and Gynecology, Oulu University. Oulu University Library. 2000.
- Pernoll, ML. Benson and Pernoll’s Handbook of Obstetrics and Gynecology, tenth edition. McGraw Hill. 2001; 29: 769-782.
- Edmonds, DK. Dewhurst’s Textbook of Obstetrics and Gynaecology, seventh edition. Blackwell Publishing. 2007; 45-46: 440-478.
- Hendarto H. Induksi Ovulasi dan Stimulasi Ovarium. CV Sagung Seto. 2009; 95-109.
- Abdelkader, AM. Yeh J. The Potential Use of Intrauterine Insemination as a Basic Option for Infertility: A review for Technology-Limited Medical Settings. Review Article of Obstetrics and Gynecology University of New York, 2009.
- Allahbadia, G.N. Intrauterine Insemination: Fundamentals Revisited. J Obstet Gynecol India67, 385–392 (2017).
- Kop, Petronella Al et al. “Intrauterine insemination versus intracervical insemination in donor sperm treatment.” The Cochrane database of systematic reviews 1,1 CD000317. 25 Jan. 2018, doi:10.1002/14651858.CD000317
- Agarwal, Ashok et al. “A unique view on male infertility around the globe.” Reproductive biology and endocrinology : RB&E 13 37. 26 Apr. 2015, doi:10.1186/s12958-015-0032-1